8.2.11

BAB IV. SHALAT - 6. Shalat dalam keadaan tertentu

6. SHALAT DALAM KEADAAN TERTENTU

Salah satu kemudahan dari Allah SWT kepada ummat Muhammad SAW adalah shalat dapat dilakukan di berbagai tempat, keadaan dan cara. Rasulullah SAW menjelaskan dan mempraktikkan shalat dalam berbagai keadaan dan cara. Sekalipun seseorang itu sedang sakit, atau dalam perjalanan, atau sedang berperang, atau dalam keadaan apapun, ia tetap dapat melaksanakan shalat. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT,
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertaqwalah kalian kepada Allah menurut kesanggupan kalian ...”
(Qs. At Taghabun : 16)
حَافِظُواْ عَلَى الصَّلَوَاتِ والصَّلاَةِ الْوُسْطَى وَقُومُواْ لِلّهِ قَانِتِين فَإنْ خِفْتُمْ فَرِجَالاً أَوْ رُكْبَاناً فَإِذَا أَمِنتُمْ فَاذْكُرُواْ اللّهَ كَمَا عَلَّمَكُم مَّا لَمْ تَكُونُواْ تَعْلَمُونَ َ    
“Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'. Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui”. (Qs. Al Baqarah 2:238-239)

6.1. Orang yang sakit

Sebelum melakukan shalat, Rasullah SAW telah memerintahkan untuk melakukan thaharah, hal ini juga berlaku bagi mereka yang sakit. Namun jika dengan kondisi sakitnya, seseorang tidak memungkinkan untuk thaharah dengan cara wudhu’ maka ia dapat melakukannya dengan tayamum. Jika tidak memungkinkan juga maka ia dapat ditayamumkan oleh orang lain.

Orang sakit yang berhalangan melakukan shalat dengan cara sempurna, seperti berdiri dengan tegak lurus, ia dapat melakukan shalat dengan cara duduk. Sakit yang dimaksud di sini adalah apabila ia mendapat kesukaran berdiri, atau takut sakitnya semakin bertambah apabila berdiri. Jika tidak bisa duduk juga, maka dapat dengan berbaring.
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ قَالَ : كَانَتْ بِى بَوَاسِيْرُ فَسَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلًَّمَ عَنِ الصَّلاَةِ فَقَالَ: "صَلِّ قَائِِمًا, فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا, فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبِكَ. رواه  البخارى و مسلم
139. Dari Imran bin Husain, ia berkata, ”Aku pernah menderita bawasir, lalu aku bertanya kepada Nabi SAW tentang (caranya) shalat”, maka jawabnya, ”Shalatlah engkau dengan berdiri, kalau tidak bisa hendaklah dengan duduk, dan kalau tidak bisa hendaklah dengan berbaring”.
 (H.R. Bukhari dan Nasai)

Duduk orang sakit disini adalah duduk bersimpuh,  sebagaimana disebutkan oleh Aisyah RA.
رَأَيْتُ الـنَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي مُتَرَبِّعًا. رواه النسائى
140. ”Aku lihat Nabi SAW shalat sambil duduk bersimpuh”. (HR An-Nasai)

Rasulullah SAW sendiri dalam suatu cerita yang dikisahkan oleh Anas RA, beliau pernah terjatuh dari tempat tidurnya sehingga lambung kanan beliau terluka. Para sahabatpun masuk untuk menjenguknya kemudian waktu shalat tiba. Rasulullah SAW tetap shalat bersama para sahabat dengan cara duduk. Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.

Orang yang sakit dan tidak memungkinkan shalat dengan duduk, maka ia dapat shalat dengan berbaring dengan bertumpu pada lambung kanannya, sedangkan wajahnya menghadap Kiblat. Hal ini disebutkan dalam hadits ’Imran bin Hushain RA, yang di dalamnya disebutkan,

صَلِّ قَائِِمًا, فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا, فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبِكَ.
رواه  البخارى
141. ”Shalatlah sambil berdiri, jika tidak bisa, shalatlah sambil duduk, jika tidak bisa shalatlah sambil berbaring di atas lambung”. (H.R. Bukhari)

Orang yang sakit dan tidak memungkinkan melaksanakan tata cara shalat dengan sempurna, maka ia dapat melakukan gerakan-gerakan shalat dengan cara isyarat.
وَعَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ عَنِ الـنَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : يُصَلِّى الْمَرِيْضُ قَائِمًاإِنِ اسْتَطَاعَ, فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ صَلَّى قَاعِدًا, فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ أَنْ يَسْجُدَ أَوْمَأَبِرَأْسِهِ, وَجَعَلَ سُجُوْدَهُ اَخْفَضَ مِنْ رُكُوْعِهِ , فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ أَنْ يُصَلِّى قَاعِدًا صَلَّى عَلَى جَنْبِهِ الأَيْمَنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ . فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ أَنْ يُصَلِّى عَلَى جَنْبِهِ الأَيْمَنِ صَلَّى مُسْتَلْقِيًارِجْلاَهُ مِمَّايَلِيْ الْقِبْلَةَ. رواه الدرقطني
142. Dari Ali bin Abi Thalib RA, dari Nabi SAW, ia bersabda, “Seorang yang sakit itu hendaklah shalat dengan berdiri kalau bisa, kalau tidak bisa hendaklah dengan sujud, kemudian kalau tidak bisa sujud maka hendaklah cukup berisyarat dengan kepalanya, dengan menjadikan sujudnya itu lebih rendah daripada ruku’nya. Kemudian apabila ia tidak bisa shalat dengan duduk, maka hendaklah ia shalat dengan berbaring ke kanan dengan menghadap kiblat. Kemudian apabila ia tidak bisa berbaring ke kanan, maka hendaklah ia shalat dengan terlentang dengan menghadapkan kedua kakinya ke arah kiblat”. (H.R. Daruquthni)

Namun jika seseorang tidak bisa shalat dengan berdiri, duduk atau berbaring atau bahkan dengan sekedar isyarat, maka ia tetap harus shalat dengan kondisi apapun yang dihadapinya, sekalipun shalat dengan cara membaca dalam hati.
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu ….”
Qs. At Taghabun : 16
لاَ يُكَلِّفُ اللّهُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya ….” Qs. Al Baqarah : 286


Sabda Nabi SAW,
فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْئٍ فَأْتُوْا مِنْهُ  مَا اسْتَطَعْتُمْ
143. “Jika aku memerintahkan kalian mengerjakan sesuatu, maka kerjakanlah menurut kesanggupan kalian.” (HR Bukhari dan Muslim)


6.2. Orang yang dalam Kendaraan

Shalat dapat dilakukan ketika berada di atas kendaraan. Misalkan perahu, orang yang shalat di atas perahu harus mengupayakan untuk berdiri, kecuali jika ia takut tenggelam.
عَنْ مَيْمُوْنَةَ بْنِ مُهْرَانَ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ : سُئِلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلًَّمَ , كَيْفَ أُصَلِّى فِي السَّفِيْنَةِ ؟ قَالَ : صَلِّ فِيْهَا قَائِمًا, اِلاَّ أَنْ تَخَافَ الْغَرَقَ. رواه الدارقطني وابوعبد
144. Dari Maimun bin Muhran, dari Ibnu Umar, ia berkata, ”Nabi SAW pernah ditanya, ”Bagaimana caranya aku shalat di perahu ?” Ia menjawab, ”Shalatlah di perahu dengan berdiri, kecuali apabila kalau kamu takut tenggelam”. (H.R. Daruquthni dan Al Hakim)

Rasulullah SAW pernah melaksanakan shalat (sunnah) di atas untanya ketika sedang bepergian.
وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْتَرَ عَلَى بَعِيْرِهِ.
رواه الجماعة
145. Dan dari Ibnu Umar RA, sesungguhnya Rasulullah SAW shalat witir di atas untanya. (H.R. Bukhari dan Muslim)

Jika dulu dilakukan di atas hewan seperti unta, maka sekarang dilakukan diatas kursi, atau benda sejenis, seperti yang dapat dilihat dalam berbagai alat transportasi sekarang ini. Ketika melaksanakan shalat fardhu Rasulullah SAW turun dari kendaraannya dan melakukan shalat secara normal dengan menghadap kiblat.
وَعَنِ عَامِرِ ابْنِ رَبِيْعَةَ قَالَ :رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - وَهُوَ عَلَى رَاحِلَتِهِ – يُسَبِّحُ : يُوْمِئُ بِرَأْسِهِ قِبَلَ أَيِّ وِجْهَةٍ تَوَجَّهَ , وَلَمْ يَكُنْ يَصْنَعُ ذلِكَ فِي الصَّلاَةِ الْمَكْتُوْبَةِ. متفق عليه
146. Dan dari Amir bin Rabi’ah, ia berkata, ”Aku pernah melihat Rasulullah SAW – waktu itu ia berada di atas kendaraannya -  bertasbih dan berisyarat dengan kepalanya, ke arah mana saja kendaraannya itu menghadap, dan ia tidak berbuat yang demikian itu dalam shalat fardhu”.
(H.R. Ahmad, Bukhari dan Muslim)

Namun ada keterangan lain yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah melakukan shalat fardhu di atas kendaraannya karena ada situasi yang dihadapinya, dan hal ini menunjukkan diperbolehkannya shalat fardhu di atas kendaraannya, jika tidak memungkinkan dilakukan di tanah/bumi.
عَنْ يَعْلَى بْنِ مُرَّةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلًَّمَ إِنْتَهَى إِلَى مَضِيْقٍ هُوَ وَأَصْحَابُهُ – وَهُوَعَلَى رَاحِلَتِهِ , وَالسَّمَاءُ مِنْ فَوْقِهِمْ , وَالْبِلَّةُ مِنْ أَسْفَلَ مِنْهُمْ فَحَضَرَتِ الصَّلاَةُ, فَأَمَرَ الْمُؤَذِّنَ فَأَذَّنَ وَأَقَامَ , ثُمَّ تَقَدَّمَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى رَاحِلَتِهِ فَصَلَّى بِهِمْ ,  يُوْمِئُ إِيْمَاءً, يَجْعَلُ السُّجُوْدَ أَخْفَضَ مِنَ الرُّكُوْعِ . رواه احمدوالترمذي
147. Dari Ya’la bin Murrah RA, sesungguhnya Nabi SAW bersama sahabat-sahabatnya sampai ke satu lembah, sedang dia berada di atas kendaraannya, padahal langit sangat mendung dan di bawahnya sangat basah. Kemudian datanglah (waktu) shalat, lalu ia menyuruh muadzdzinnya, kemudian ia adzan dan iqomah, lantas Rasulullah SAW menuju kendaraannya dan shalat (jama’ah) bersama mereka itu. (Dalam shalat itu), ia berisyarat yang sujudnya lebih rendah dari ruku’. (H.R. Ahmad dan Tirmidzi)

Pada saat melakuan shalat di atas kendaraan, disunnahkan pada saat takbir untuk menghadap ke arah kiblat, setelah itu ia dapat berpaling menuruti arah kendaraannya sendiri. Hal ini dilakukan jika tidak bisa turun dari kendaraan untuk melaksanakan shalat fardhu seperti yang disebutkan dalam hadits Amir bin Rabi’ah diatas.
وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلًَّمَ إِذَاأَرَادَ أَنْ يُصَلِّيَ عَلَى رَاحِلَتِهِ تَطَوُّعًا, اِسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ, فَكَبَّرَ لِلصَّلاَةِ, ثُمَّ خَلَّى عَلَى رَاحِلَتِهِ فَصَلَّى حَيْثُمَا تَوَجَهَتْ بِهِ. رواه احمد و ابوداود
148. Dan dari Anas bin Malik RA, ia berkata, ”Adalah Rasulullah SAW apabila shalat sunnah di atas kendarannya, ia menghadap ke qiblat lalu takbir untuk shalat, kemudian ia biarkan kendaraannya itu, maka ia shalat (mengikuti) arah mana saja kendaraannya itu menuju”.
(H.R. Ahmad dan Abu Dawud)

Namun jika tidak bisa menghadapkan wajah ke arah kiblat juga, maka ia dapat melaksanakan shalatnya menghadap ke arah mana kendaraannya menghadap.
وَفِي رِوَايَةٍ كَانَ يُصَلِّيَ عَلَى رَاحِلَتِهِ وَهُوَ مُقْبِلٌ مِنْ مَكَّةَ إِلَى الْمَدِيْنَةِ حَيْثُمَا تَوَجَهَتْ بِهِ. وَفِيْهِ نَزَلَتْ , أَيْنَمَاتُوَلُّوْا فَثَمَّ وِجْهُ اللهِ . رواه احمد ومسلم وللترمذي
149. Dalam suatu riwayat disebutkan, ”Adalah Nabi SAW  pernah shalat sunnah di atas kendarannya sedang dia pergi dari Mekkah ke Madinah (sambil mengikuti) arah mana kendaraannya itu menuju. Dan waktu itu turun ayat, ”Kemana saja kamu menghadap, maka di sana adalah arah Allah SWT”.  (H.R. Ahmad, Muslim dan Tirmidzi)

Sungguh Allah SWT telah berfirman dalam ayat-ayatnya.
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu ….”
Qs. At Taghabun : 16
لاَ يُكَلِّفُ اللّهُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya ….”  Qs. Al Baqarah : 286

Sabda Nabi SAW,
فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْئٍ فَأْتُوْا مِنْهُ  مَا اسْتَطَعْتُمْ
150. “Jika aku memerintahkan kalian mengerjakan sesuatu, maka kerjakanlah menurut kesanggupan kalian.” (HR Bukhari dan Muslim)


Saat shalat di kendaraan, seseorang dapat melaksanakannya dengan cara isyarat.
وَعَنْ جَابِرٍ قَالَ : رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  يُصَلِّيَ وَهُوَ عَلَى رَاحِلَتِهِ النَّوَافِلَ فِي كُلِّ جِهَةٍ , وَلكِنْ يَخْفِضُ السُّجُوْدَمِنَ الرُّكُوْعِ يُوْمِئُ إِيْمَاءً. رواه احمد
151. Dan dari Jabir RA, ia berkata, “Aku pernah melihat Nabi SAW shalat sunnah, sedang ia di atas kendarannya mengikuti setiap arah. Namun ia rendahkan sujudnya itu daripada ruku’nya dan ia benar-benar isyarat”. (H.R. Ahmad)
وَفِي لَفْظٍ : بَعَثَنِي النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَاجَةٍ فَجِئْتُ وَهُوَ يُصَلِّى عَلَى رَاحِلَتِهِ نَحْوَ الْمَشْرِقِ, وَالسُّجُوْدَ أَخْفَضُ مِنَ الرُّكُوْعِ.
رواه ابوداود والترمذي وصححه

152. Dan dalam satu lafazh, ”Aku (Jabir) pernah diutus Nabi SAW untuk suatu keperluan, lalu aku datang sedang (waktu itu) ia shalat di atas kendarannya dengan menghadap ke timur, dan sujudnya lebih rendah daripada ruku’nya”. (H.R. Abu Daqud dan Tirmidzi)

Selain dari keadaan sakit dan dalam kendaraan, keadaan lain yang bisa juga dihadapi oleh kaum muslimin adalah shalat dalam peperangan (jihad) dan shalat dalam perjalanan (musafir). Kedua bagian ini tidak akan disampaikan dalam buku ini mengingat cukup banyaknya materi pokok yang berkaitan dengan dua topik tersebut.