8.2.11

BAB IV. SHALAT - 7.Beberapa Ketentuan Tentang Shalat Berjamaah

7.BEBERAPA KETENTUAN TENTANG SHALAT BERJAMAAH

7.1. Keutamaan Shalat Berjamaah

Rasulullah SAW sangat menekankan pelaksanaan shalat secara berjama’ah. Dalam shiroh nabawiyah, ketika Rasulullah SAW sudah membangun Masjid Nabawi di Madinah Al-Munawarah, Rasulullah SAW memerintahkan pelaksanaan shalat wajib 5 (lima) waktu secara berjamaah di Masjid Nabawi. Sedemikian kerasnya perintah shalat berjamaah ini sampai-sampai Rasulullah menyatakan dalam haditsnya ingin membakar rumah-rumah mereka yang tidak menghadiri shalat berjamaah.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ , قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صم.أَثْقَلُ صَلاَةٍ عَلَى الْمُنَافِقِيْنَ
صَلاَةُ الْعِشَاءِ وَصَلاَةُ الْفَجْرِ,وَلَوْيَعْلَمُوْنَ مَافِيهِمَالاََتَوْاهُمَا وَلَوْحَبْوًا.وَلَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِالصَّلاَةِ , فَتُقَامُ, ثُمَّ آمُرُ رَجُلاً فَيُصَلِّى بِالنَّاسِ, ثُمَّ أَنْطَلِقُ مَعِيَ بِرِجَالٍ مَعَهُمْ حَزْمٌ مِنْ حَطَبٍ إِلَى قَوْمٍ لاَيَشْهَدُوْنَ الصَّلاَةَ, فَاُحَرِّقُ عَلَيْهِمْ بُيُوْتَهُمْ بِالنَّارِ.متفق عليه
153. Dari Abu Hurairoh RA, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Seberat-berat shalat atas orang-orang munafiq adalah shalat Isya dan Shubuh. Dan seandainya mereka mengetahui apa yang ada pada keduanya, niscaya mereka akan mendatanginya walaupun dengan merangkak. Dan sungguh-sungguh aku ingin memerintahkan orang-orang untuk shalat, lalu di-iqomati. Kemudian aku memerintah seseorang (untuk menjadi Imam), lalu ia shalat bersama orang banyak. Kemudian aku berangkat bersama beberapa orang, dengan membawa seikat kayu bakar, menuju qaum yang tidak (mau) menghadiri shalat. Lalu akan aku bakar rumah-rumah mereka dengan api.”   (HR Ahmad, Bukhari dan Muslim)

Selain menghimbau dengan keras pelaksanaan shalat berjamaah, Rasulullah SAW juga memotifasi ummatnya dengan cara membandingkan pelaksanaan shalat secara fardhiyah dan jama’ah.
عَنْ أَبِي عُمَرَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلًَّمَ, صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ عَلَى صَلاَةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِيْنَ دَرَجَةً .  
154. Dan dari Ibnu Umar RA, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Shalat jama’ah itu melebihi shalat sendirian dengan dua puluh tujuh derajat.”  (HR Ahmad, Bukhari dan Muslim)

Penekanan shalat secara berjamaah ditekankan kepada mereka yang tinggal di rumahnya (muqim), sedangkan bagi mereka yang sakit atau musafir, atau mendapati malam yang dingin atau turun hujan, maka diperbolehkan untuk melaksanakannya dengan tidak berjamaah di masjid.
وَعَنْ إِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ الـنَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ كَانَ يَأْمُرُ الْمُنَادِيَ, فَيُنَادِيْ " صَلُّوْا فِي رِحَالِكُمْ " فِي اللَّيَالِيِ الْبَارِدَةِ , وَفِى اللَّيْلَةِ الْمَطِيْرَةِ , فِالسَّفَرِ.
155. Dari Ibnu Umar RA, dari Nabi SAW, sesungughnya ia pernah menyuruh muadzdzinnya, lalu muadzdzinnya itu (memanggil) shalat, yaitu ia memanggil (dengan), “Shallu ...” (Shalatlah kamu di rumahmu), di suatu malam yang dingin, malam yang hujan, dan dalam perjalanan.” (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim)

 7.2. Shalat Jamaah Minimal 2 (dua) Orang

Shalat yang dilaksanakan secara berjamaah minimal dilaksanakan oleh 2 (dua) orang, termasuk salah seorang diantaranya adalah anak-anak atau wanita. Perhatikan hadits-hadits dibawah ini.
وَعَنْ  اِّبْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: بِتُّ عِنْدَ خَالَتِيْ مَيْمُوْنَةَ , فَقَامَ الـنَّبِيُّ  صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ اللّيْلِ , فَقُمْتُ أُصَلِّيْ مَعَهُ , فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ فَأَخَذَ بِرَأْسِيْ , فَأَقَامَنِيْ عَنْ يَمِيْنِهِ .
156. Dari Ibnu Abbas RA, ia berkata, “Aku (pernah) bermalam di rumah bibiku, Maimunah. Lalu Nabi SAW bangun tengah malam, lalu aku berdiri shalat bersama dia. Yaitu aku berdiri di sebelah kirinya, lalu Nabi SAW menarik kepalaku, dan menempatkan aku di sebelah kanannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ وَأَبِي هُرَيْرَةَ  فَقَالاَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلًَّمَ,مَنِ اسْتَيْقَظَ مِنَ اللَيْلِ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ , فَصَلَّيَا رَكْعَتَيْنش جَمِيْعًا كُتِبَامِنَ الذَّاكِرِيْنَ اللهَ كَثِيْرًا وَالذَّاكِرَاتِ.
157. Dan dari Abu Sa’id RA dan Abu Hurairoh RA, mereka berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa bangun di waktu malam dan membangunkan keluarganya (istrinya), lalu mereka shalat dua rakaat dengan berjamaah, maka mereka dicatat sebagai orang laki-laki dan perempuan yang banyak ingat kepada Allah.” (HR Abu Dawud)

7.3. Wajibnya Mengikuti Imam dan Larangan Mendahuluinya

Orang yang ikut di belakang Imam, atau yang disebut ma’mum, wajib untuk mengikuti Imam dan dilarang untuk mendahuluinya.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ  أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلًَّمَ قَالَ " إِنَّمَا جُعِلَ الاِْمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ , فَلاَ تَخْتَلِفُوْا عَلَيْهِ, فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوْا, وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوْا, وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُوْلُوْا : اللَّهُمَّ رَبَّنَالَكَ الْحَمْدُ, وَإِذَاسَجَدَ فَاسْجُدُوْا, وَإِذَا صَلَّى قَاعِدًا فَصَلُّوْا قُعُوْدًا أَجْمَعِيْنَ.
158. Dari Abu Hurairoh RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Imam itu dijadikan untuk diikuti, karena itu jangan kamu menyalahinya. Kemudian apabila ia sudah takbir, maka takbirlah kamu, dan apabila ia sudah ruku’, maka ruku’lah kamu, dan apabila ia sudah berkata, “Sami’allahu liman hamidah”, maka katakanlah, “Allahumma rabba lakal hamdu”. Dan apabila ia sudah sujud, maka sujudlah kamu, dan apabila ia shalat dengan duduk, maka shalatlah kamu dengan duduk juga semuanya.”
                                                    (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim)

وَفِيْ لَفْظٍ " إِنَّمَاالاِْمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ ,فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوْاوَلاَ تُكَبِّرُوْا حَتَّى يُكَبِّرَ, وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوْا,وَلاَ تَرْكَعُوْا حَتَّى يَرْكَعَ , وَإِذَاسَجَدَ فَاسْجُدُوْا,وَلاَتَسْجُدُوْا حَتَّى يَسْجُدَ.
159. Dan dalam satu lafazh, dilatakan, “Sesungguhnya Imam itu dijadikan supaya diikuti, karena itu apabila ia sudah takbir, maka takbirlah kamu, dan janganlah kamu takbir sehingga ia takbir. Dan apabila ia sudah ruku’, maka ruku’lah kamu, dan janganlah kamu ruku’ sehingga ia ruku’. Dan apabila ia sudah sujud, maka sujudlah kamu dan janganlah kamu sujud sehingga ia sujud.” (HR. Ahmad dan Abu Daud)

Ma’mum hendaknya juga tidak membarengi Imam. Ma’mum menunggu Imam sampai sempurna gerakannya baru kemudian mengikutinya, sebagai contoh ma’mum tidak boleh turun untuk ruku’ sebelum Imam sempurna posisi punggung dan telapak tangannya ketika ruku’. Begitu juga ketika Imam akan turun sujud, ma’mum wajib menunggunya sampai Imam sempurna posisi sujudnya di tanah.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ  قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلًَّمَ " إِنَّمَا جُعِلَ الاِْمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ ,فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوْا, فَكَبِّرُوْاوَلاَ تُكَبِّرُوْا حَتَّى يُكَبِّرَ, وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوْا, وَلاَ تَرْكَعُوْا حَتَّى يَرْكَعَ, وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُوْلُوْا : اللَّهُمَّ رَبَّنَالَكَ الْحَمْدُ, وَإِذَاسَجَدَ فَاسْجُدُوْا, وَلاَتَسْجُدُوْا حَتَّى يَسْجُدَ, وَإِذَا صَلَّى قَائِمًا فَصَلُّوْا قِيَامًا, وَإِذَا صَلَّى قَاعِدًا فَصَلُّوْا قُعُوْدًا أَجْمَعِيْنَ.
160. Dari Abu Hurairoh RA, ia berkata, “Telah bersabda Rasulullah SAW, “Dijadikan imam itu tidak lain melainkan buat diturut, maka apabila ia bertakbir, hendaklah kamu bertakbir dan janganlah kamu bertakbir hingga ia bertakbir, dan apabila ia ruku’, hendaklah kamu ruku dan janganlah kamu ruku hingga ia ruku, dan apabila ia berkata, “Samiallahu liman hamidah”, hendaklah kamu berkata, “Allahumma rabbana lakal hamd”, dan apabila ia sujud hendaklah kamu sujud, dan janganlah kamu sujud hingga ia sujud, dan apabila ia shalat berdiri, maka hendaklah kamu shalat berdiri, dan apabila ia shalat duduk maka hendaklah kamu sekalian shalat duduk.” (HR Abu Daud)

Dari Al Bara’ bin Azib RA, dia bercerita, “Kami pernah mengerjakan shalat di belakang Nabi SAW. Jika beliau membaca, “Samiallahu liman hamidah”, tidak ada seorangpun dari kami yang membungkukkan punggungnya sehingga Nabi SAW meletakkan dahinya di atas tanah (kemudian – setelah itu – orang-orang di belakang beliau bersujud.” (HR. Bukhari dan Muslim) 

Ma’mum hendaknya juga memperhatikan suara takbir Imam, dan tidak bergerak sebelum Imam selesai mengucapkan kalimat takbir. Hal ini terutama perlu diperhatikan ketika akan mengangkat kepala setelah sujud, jika Imam belum selesai takbir tetapi sudah diikuti gerakannya maka bisa terjadi ma’mum mendahului mengangkat kepalanya sebelum Imam. Dan inilah yang diungkapkan hadits berikut ini.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ  قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلًَّمَ , أَمَايَخْشَى
 أَحَدُكُمْ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ قَبْلَ الاِْمَامُ أَنْ يُحَوِّلَ اللهُ رَأْسَهُ رَأْسَ حِمَارٍ أَوْ
يُحَوِّلَ اللهُ صُوْرَتَهُ صُوْرَةَ حِمَارٍ .
161. Dan dari Abu Hurairoh RA, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Apakah salah  seorang di antara kamu tidak takut, apabila ia mengangkat kepalanya sebelum Imam, Allah akan menggantikan kepalanya dengan kepala himar, atau Allah akan menggantikan rupanya dengan rupa khimar.” (HR. Bukhari dan Muslim)

7.4. Diamnya Ma’mum Mendengar Bacaan Imam

Rasulullah SAW mengajarkan bahwa dalam shalat berjamaah, ma’mum hendaknya diam mendengar bacaan Imam. Sabda Nabi SAW,
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ  أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلًَّمَ قَالَ " إِنَّمَا جُعِلَ الاِْمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ ,فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوْا,وَإِذَا قَرَأَ فَأَنْصِتُوْا.
162. Dari Abu Hurairoh RA, sesungguhnya Rasulullah SAW telah bersabda, “Sesungguhnya imam itu dijadikan adalah untuk diikuti. Oleh karena itu apabila ia telah takbir, maka takbirlah kamu dan apabila ia membaca, maka diamlah kamu.”
                                     ( HR. Ahmad, Abu Daud, Nasai, Ibnu Majah)

Hal ini dilakukan dalam shalat jahr seperti shubuh, maghrib dan isya. Sedangkan dalam shalat membaca tanpa suara (sir), maka ma’mum harus tetap membaca alfatihah dan surat-surat. Jabir RA berkata,
كُنَّانَقْرَأُ فِى الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ خَلْفَ الاِْمَامِ فِى الرَّكْعَتَيْنِ الاُْوْلَيَيْنِ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَسُوْرَةٍ , وَفِيْ الآخِرَتَيْنِ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ.
163. “Kami membaca alfatihah dan surat lain di belakang imam dalam shalat zhuhur dan ashar pada raka’at pertama dan kedua, sedangkan pada rakaat ketiga dan keempat hanya membaca alfatihah saja.”
(HR Ibnu Majah)
7.5. Letak Imam dan Ma’mum

Shalat berjamaah dilaksanakan dengan posisi ma’mum yang rapat dan lurus.
عَنْ اَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلًَّمَ قَالَ , سَوُّوْا صُفُوْفَكُمْ , فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوْفِ مِنْ تَمَامِ الصَّلاَةِ .
164. Dari Anas RA, sesungguhnya Nabi SAW bersabda, “Luruskanlah shafmu ! Karena meluruskan shaf itu sebagian dari kesempurnaan shalat.”
(HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim)

Untuk shalat berjamaah yang dilakukan oleh dua orang, maka posisi ma’mum adalah berada di sebelah kanan Imam. Adapun shalat berjamaah yang diikuti oleh dua orang ma’mum maka posisi ma’mum adalah berdiri di belakang Imam.

عَنْ جَابِرِبْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ : قَامَ النَّبِيَُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلًَّمَ يُصَلِّى الْمَغْرِبَ فَجِئْتُ فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ فَنَهَانِي فَجَعَلَنِيْ عَنْ يَمِيْنِهِ,ثُمَّ جَاءَ صَاحِبٌ لِيْ فَصَفَّنَا خَلْفَهُ , فَصَلَّى بِنَا فِيْ ثَوْبٍ وَاحِدٍ.مُخَالِفًابَيْنَ طَرَفَيْهِ . رواه احمد
165. Dari Jabir bin Abdillah RA, ia berkata, “Nabi SAW (pernah) berdiri shalat maghrib, kemudian aku datang, lalu aku berdiri di sebelah kirinya, lalu Nabi melarang aku, dan ia menjadikan aku di sebelah kanannya. Kemudian seorang kawanku datang, lalu Nabi mengatur shaf kami di belakangnya, lalu ia shalat bersama kami, dalam satu pakaian yang diselempangkan dua ujungnya.” (HR. Ahmad)
وَفِيْ رِوَايَةٍ : قَامَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلًَّمَ , لِيُصَلِّيَ فَجِئْتُ فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ , فَأَخَذَ بِيَدِي فَأَدَارَنِيْ حَتَّى أَقَامَنِيْ عَنْ يَمِيْنِهِ , ثُمَّ جَاءَ جَبَّارُ بْنُ صَخْرٍ , فَقَامَ عَنْ يَسَارِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلًَّمَ , فَأَخَذَ بِأَيْدِنَا جَمِيْعًا , فَدَفَعَنَاحَتَّى أَقضامَنَاخَلْفَهُ. رواه مسلم وابوداود
166. Dan dalam satu riwayat, dikatakan, “Rasulullah SAW berdiri untuk shalat, kemudian aku datang, lalu aku berdiri di sebelah kirinya, lalu Nabi mengambil tanganku, lalu ia memutar aku sehingga ia menempatkan aku di sebelah kananya. Kemudian Jabbar bin Shakr datang, lalu ia berdiri di sebelah kiri Rasulullah SAW lalu Nabi mengambil tangan kami semua, lalu ia mendorong kami sehingga ia menempatkan kami di belakangnya.”
(HR. Muslim dan Abu Daud)

Untuk posisi ma’mum perempuan berada di belakang ma’mum laki-laki.
وَعَنْ اَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلًَّمَ صَلَّى بِهِ وَبِأُمِّهِ أَوْ خَالَتِهِ  قَالَ فَأَقَامَنِيْ عَنْ يَمِيْنِهِ , وَأَقَامَ الْمَرْأَةَ خَلْفَنَا. رواه احمد ومسلم وأبوداود
167. Dan dari Anas RA, bahwa Nabi SAW shalat bersamanya, dan bersama ibunya atau bibinya. Anas berkata, “Lalu Nabi SAW menempatkan aku di sebelah kanannya, dan menempatkan perempuan itu di belakang kami.” (HR. Ahmad, Muslim dan Abu Daud)

7.6. Ketentuan Masbuq

Seseorang yang datang terlambat dalam shalat berjamaah disebut dengan masbuq. Masbuq harus tetap mengikuti gerakan Imam saat itu sebagaimana disebutkan dalam hadits dibawah ini.
وَعَنْ عَلِيِّ ابْنِ أَبِيْ طَالِبٍ وَمُعَاذِبْنِ جَبَلٍ قَالاَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلًَّمَ, إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ الصَّلاَةَ وَالاِْمَامُ عَلَى حَالٍ فَلْيَصْنَعْ كَمَا يَصْنَعُ الاِْمَامُ .
168. Dan dari Ali bin Abi Thalib RA dan Muadz bin Jabal RA, keduanya berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Apabila salah seorang di antara kamu mendatangi shalat, sedang Imam dalam suatu keadaan, maka kerjakanlah seperti apa yang dikerjakan Imam.”
(HR Tirmidzi)

Masbuq dihitung sudah sampai satu rakaat apabila ia telah mendapati satu rakaat bersama Imam.
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ  أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلًَّمَ قَالَ : مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصَّلاَةِ مَعَ الاِْمَامِ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَةَ. رواه بخارى ومسلم
169. Dan dari Abu Hurairoh RA, bahwa Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa mendapati satu rakaat dari shalat itu bersama Imam, maka (berarti) ia telah mendapati shalat itu.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Masbuq yang mendapati Imam dalam posisi sujud, kemudian ia ikut sujud, maka masbuq tersebut tidak dihitung mendapat 1 (satu) rakaat.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ :قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلًَّمَ , إِذَا جِئْتُمْ اِلَى الصَّلاَةِ وَنَحْنُ سُجُوْدٌ فَاسْجُدُوْا , وَلاَتَعْتَدُّوْهَاشَيْئًا.وَمَنْ أَدْرَكَ الرَّكْعَةَ فَقَدْ
أَدْرَكَ الصَّلاَةَ.
170. Dari Abu Hurairoh RA, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Apabila kalian (mau) mendatangi shalat, sedang kami dalam sujud, maka hendaklah kalian sujud, dan janganlah kalian hitung dia sesuatu (satu rakaat). Dan barangsiapa menjumpai rakaat itu (berarti) ia telah menjumpai shalat itu.” (HR. Abu Daud)

Ada satu pendapat bahwa Masbuq dihitung satu rakaat jika ia mendapati Imam turun ruku’ kemudian ia juga dapat turun untuk ruku’ dan meluruskan punggungnya secara sempurna. Hal ini didasarkan pada hadits Abu Bakrah RA, bahwa dia pernah sampai kepada Nabi SAW sedang beliau tengah ruku’. Diapun ruku’ sebelum sampai di barisan. Kemudian hal itu diceritakan kepada Nabi SAW, beliapun berkata,
زَادَكَ اللهُ حِرْصًاوَلاَتَعُدْ
171. “Mudah-mudahan Allah memberimu kegigihan dan janganlah kamu ulangi.” (HR. Bukhari)

Abu Daud manambahkan di dalamnya, “Dia ruku’ sebelum sampai barisan, kemudian berjalan menuju barisannya”. Dari hadits ini dapat disimpulkan bahwa shalatnya Abu Bakrah dianggap telah sah oleh Rasulullah SAW, namun untuk yang berikutnya dia tidak boleh mengulanginya lagi. Artinya untuk yang akan datang Abu Bakrah diperintahkan untuk mengikuti imam dari awal shalat dalam shalat berjamaah.

Namun jika diperhatikan hadits-hadits tentang tidak sahnya shalat, bahwa tidak dipandang telah shalat jika seseorang tidak membaca alfatihah. Maka shalat dipandang satu rakaat jika seseorang telah membaca al fatihah, atau jika ia dalam shalat berjamaah, ia mendengar bacaan al fatihahnya Imam.
عَنْ عَبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ :قَالَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلًَّمَ لاَصَلاَةَ
لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِأُمِّ الْقُرْآنِ. متفق عليه

172. Dari Ubadah bin Ash-Shamit RA, “Sesungguhnya Nabi SAW bersabda, “Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca surah al-Fatihah.”  (H.R. Bukhari dan Muslim)

Untuk shalat jahr seperti shubuh, maghrib dan isya, maka dipandang satu rakaat jika ma’mum mendengar bacaan alfatihah Imam
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ  أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلًَّمَ قَالَ " إِنَّمَا جُعِلَ الاِْمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ ,فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوْا,وَإِذَا قَرَأَ فَأَنْصِتُوْا. 
173. Dari Abu Hurairoh RA, sesungguhnya Rasulullah SAW telah bersabda, “Sesungguhnya imam itu dijadikan adalah untuk diikuti. Oleh karena itu apabila ia telah takbir, maka takbirlah kamu, dan apabila ia sudah membaca, maka diamlah kamu.”
(HR. Ahmad, Abu Daud, Nasai, Ibnu Majah)

Masbuq setelah mendapati Imam mengucapkan salam, maka ia harus menyelesaikan rakaatnya yang tertinggal dan tidak menambah lagi gerakan atau bacaan lain.